
Industri tekstil dalam negeri sedang dirundung masalah. Gugurnya Sritex Group menjadi satu pertanda jelas yang bisa dilihat dari masalah itu.
Pabrik garmen dan tekstil dengan empat anak perusahaan itu tutup total per 1 Maret 2025. Ada 11.025 buruh yang tersebar pada PT Sri Rejeki Isman Tbk di Sukoharjo, PT Primayudha Mandirijaya di Boyolali, serta PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries di Semarang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 sempat dituding menjadi biang kerok kehancuran Sritex dan perusahaan tekstil lain. Meski memang problematik dan jadi karpet merah barang impor, aturan itu tak sepenuhnya jadi akar masalah Sritex.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Emiten berkode SRIL itu terlilit utang US$1,6 miliar atau Rp25 triliun (asumsi kurs Rp15.695 per dolar AS) kepada 28 bank. Gunung utang itu yang membawa Sritex pada kepailitan sejak 21 Oktober 2024 lewat putusan perkara pengadilan negeri nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
Walau, PHK juga menyasar sektor industri manufaktur lain, seperti alas kaki. Sebut saja PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh di Kabupaten Tangerang yang harus memberhentikan sekitar 3.500-4.000 pekerjanya.
Pesanan yang lesu menjadi dalih kuat mengapa perusahaan mesti mengurangi pekerja. Akan tetapi, kondisi ini justru berbeda dengan data yang dikantongi pemerintah.
Namun di tengah masalah itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri masih baik-baik saja.
Klaim didasarkan Sri Mulyani pada data kinerja sektor alas kaki yang menurutnya masih sanggup tumbuh dua digit di tengah masalah Sritex Cs. Wanita yang akrab disapa Ani itu mencatat pertumbuhan ekspor kelompok barang ini menembus 17 persen pada awal 2025.
“Jadi, ini menggambarkan bahwa produksi dan aktivitas manufaktur di Indonesia itu tetap mampu bertahan resilience, bahkan mereka itu cukup kuat,” klaim Ani dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (13/3).
“Enggak cuma bertahan, bertahan itu kayaknya kan minimal banget. Dia (industri manufaktur) bahkan bisa growing dari mulai logam dasar, elektronik, dan bahkan yang labor intensive seperti alas kaki. Ini landasan optimisme yang harus terus kita jaga. Ini merupakan sesuatu yang positif yang tentunya perlu kita jaga bersama-sama,” tegasnya.
Begitu pula dengan industri TPT yang ia klaim tumbuh 4,3 persen di 2024 serta pada awal tahun ini bertahan di level 3,8 persen. Sang Bendahara Negara membandingkan dengan kondisi 2023, di mana kala itu gerak sektor tekstil merosot 2 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) turut memperkuat klaim Sri Mulyani. Menurut mereka, pesanan di Amerika Serikat bahkan tumbuh cukup banyak.
Ekspor di industri pengolahan per Februari 2025 menyentuh US$17,65 miliar alias naik 3,17 persen. Ekspor di sektor TPT yang tembus US$1,02 miliar atau meningkat 1,41 persen dibandingkan bulan sebelumnya turut menyumbang capaian itu.
“Kenaikan (ekspor TPT) terbesar sejalan dengan data ekspor ke Amerika Serikat. Jadi, kenaikan (ekspor) tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar adalah ke Amerika Serikat sebesar US$17,4 juta atau naik 4,13 persen bila dibandingkan dengan Januari 2025,” lapor Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam Konferensi Pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin (17/3).
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai pemerintah tak sepatutnya berpuas hati dengan angka-angka pertumbuhan tersebut. Apalagi, capaiannya masih di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia serta rata-rata industri manufaktur secara keseluruhan.
Ia mencontohkan sektor logam dasar bahkan mencatatkan pertumbuhan sebesar 13,3 persen. Industri makanan dan minuman yang tumbuh 5,9 persen pun masih harus menahan ekspansi.
“Pertumbuhan industri (TPT) 4,3 persen tidak bisa dikatakan moncer sama sekali. Perlu diingat pula bahwa pertumbuhan ini didasari dari low base effect yang mana tahun sebelumnya (2023) industri TPT terkontraksi 2 persen,” kata Andri kepada CNNIndonesia.com.
Andri mengamini bahwa penopangnya memang datang dari ekspor. Namun, ia menekankan faktor kenaikan pengiriman tekstil ke luar negeri justru terjadi karena ada pelemahan rupiah sepanjang 2024.
Pada akhirnya, kenaikan ekspor tak berdampak banyak untuk kondisi ketenagakerjaan di industri tekstil tanah air. Ia menegaskan dampak efisiensi dari kontraksi di tahun-tahun sebelumnya sudah sulit berbalik arah.
“Karena perusahaan sendiri tidak bisa optimis mengandalkan kenaikan ekspor ini bisa bertahan dalam jangka panjang untuk melakukan rekrutmen (pegawai) kembali. Apalagi, ketika aspek biaya lain, yakni biaya modal masih tinggi di tengah suku bunga yang tak juga turun,” bebernya.
“Naiknya tingkat serapan tenaga kerja di industri TPT hanya bisa dilakukan jika perusahaan sudah optimis bahwa kenaikan penjualan bisa berjalan sustainable, bukan hanya karena kondisi pasar eksternal,” tambah Andri.
Menurutnya, industri tekstil juga tak punya taji di dalam negeri. Permintaan yang lesu di pasar domestik harus segera dipulihkan jika ingin serapan tenaga kerjanya kembali meluas.
Diganti robot
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kondisi industri tekstil menunjukkan paradoks. Ia melihat kinerja ekspor yang baik tak serta merta mencerminkan kondisi sehat di semua lapisan sektor TPT.
“PHK yang terjadi lebih mungkin disebabkan oleh faktor internal, seperti mismanagement keuangan atau inefisiensi operasional. Bukan semata karena pasar ekspor yang lesu. Sritex, misalnya, baru-baru ini menghadapi kebangkrutan yang menunjukkan bahwa penyebab utama PHK bisa berasal dari permasalahan perusahaan itu sendiri,” jelasnya.
Selain itu, Yusuf mengatakan industri tekstil yang bersifat padat karya memang rajin melakukan efisiensi tenaga kerja. Penyebab utamanya adalah persaingan global serta otomatisasi.
Ekspor yang naik tak bisa diartikan berbanding lurus dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peran manusia justru rawan tergantikan seiring meningkatnya pesanan.
Apalagi, pabrik tanah air harus bersaing dengan impor tekstil murah yang datang dari China. Ini tentu bakal melemahkan pasar domestik, walau perusahaan masih kuat sikut-sikutan ekspor.
“Meskipun ekspor meningkat, penggunaan teknologi canggih atau mesin dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja. Sehingga PHK tetap terjadi, meski kinerja industri secara agregat terlihat baik,” ungkap Yusuf.
“Jika perusahaan meningkatkan produktivitas melalui otomatisasi, ekspor bisa naik tanpa menambah jumlah pekerja. Bahkan, mungkin menguranginya (tenaga kerja),” sambungnya.
Kendati, Yusuf tak ingin buru-buru menganggap data Menkeu Sri Mulyani maupun BPS keliru. Ia melihat angka-angka milik pemerintah punya keterbatasan dalam menggambarkan realitas di lapangan.
Ia menegaskan data ekspor yang moncer umumnya hanya bersifat agregat. Isinya pun sekadar merekam total nilai ekspor, tanpa membedah kondisi perusahaan atau sektor tertentu.
Oleh karena itu, ia mendorong Presiden Prabowo Subianto dan jajaran mengambil langkah strategis untuk menyeimbangkan peningkatan daya saing industri dengan tetap melindungi nasib pekerja.
Salah satu opsinya adalah investasi pelatihan tenaga kerja agar bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi dan kebutuhan industri, seperti menggunakan mesin modern.
“Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau subsidi kepada perusahaan yang aktif merekrut dan melatih tenaga kerja lokal sehingga PHK bisa diminimalkan,” saran Yusuf.
“Regulasi ketenagakerjaan juga perlu diperkuat agar pekerja mendapatkan perlindungan yang layak, termasuk dalam hal upah dan jaminan sosial. Tak kalah penting, pemerintah harus mendorong inovasi dan adopsi teknologi yang tidak hanya meningkatkan produktivitas, juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor bernilai tambah, seperti desain dan pengolahan produk tekstil,” imbuhnya.