1.967 CPNS 2024 Mundur, Apa yang Terjadi di Dunia Per-PNS-an Kita?

Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat 1.967 calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2024 memutuskan untuk mengundurkan diri.
Alasan calon abdi negara itu mundur karena gaji kecil hingga penempatan yang jauh.
“Ada 1.967 (CPNS 2024) yang mengundurkan diri,” kata Kepala BKN Zudan Arif Fakrulloh dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI di Jakarta Pusat, Selasa (22/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zudan menjelaskan CPNS itu mundur imbas adanya skema optimalisasi yang dilakukan pemerintah. CPNS itu semula tak lolos di pilihannya, lalu menjadi diterima di daerah lain karena formasi tersebut tidak ada pendaftar.
Ia mencontohkan ada CPNS dosen yang tidak diterima di Sosiologi Universitas Negeri Jember (Unej). Namun, ada formasi serupa dibuka di Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nol pelamar.
“Maka, dua orang nilai terbaik secara sistem (dari CPNS dosen Sosiologi Unej) dikirim ke Universitas Nusa Cendana. Menjadi lulus (CPNS) karena formasi di Universitas Nusa Cendana kosong,” tuturnya.
Zudan mengatakan tidak hanya CPNS dosen yang mundur. Total, ada lima instansi atau calon abdi negara dari 5 kementerian/lembaga (K/L) yang paling banyak mengundurkan diri yakni Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Lantas apa yang terjadi sebenarnya pada dunia CPNS yang sering disebut-sebut sebagai pekerjaan idaman sehingga banyak yang mundur?
Ekonom Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Shofie az Zahra mengatakan memang telah terjadi perubahan persepsi terkait dunia kerja terutama di kalangan generasi muda.
Dulu, menjadi PNS identik dengan stabilitas, jaminan pensiun, dan status sosial. Namun, kini banyak generasi muda yang lebih mengutamakan fleksibilitas kerja, peluang berkembang, dan kompensasi yang sebanding dengan beban kerja serta kualitas hidup.
“Penempatan di daerah terpencil tanpa dukungan fasilitas memadai, serta gaji awal yang dianggap tidak kompetitif dibanding sektor swasta atau startup digital, menjadi pendorong utama ketidaktertarikan ini,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/4).
Fenomena ini, sambung Shofie, bisa menjadi aspek yang baik karena mencerminkan meningkatnya aspirasi dan ekspektasi profesional generasi muda yang mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik.
Namun, fenomena ini bisa menjadi tantangan bagaimana pemerintah bisa menarik generasi muda yang berkualitas baik untuk mau menjadi PNS.
Apalagi dengan keterbatasan dana APBN atau APBD, pekerjaan PNS akan sulit bersaing dengan pekerjaan di sektor swasta, khususnya di kota-kota besar.
Menyikapi kondisi itu, Shofie mengatakan pemerintah perlu mereformasi struktural dalam sistem manajemen CPNS.
Pemerintah harus memastikan bahwa sistem penempatan calon abdi negara tidak semata bersifat administratif, tetapi mempertimbangkan aspek insentif, pengembangan karier, dan kesiapan infrastruktur di daerah.
“Dengan insentif dan infrastruktur yang memadai, akan lebih mudah bagi ASN untuk pulang mengunjungi keluarga, sehingga dapat meminimalisasi resiko ASN yang mengundurkan diri karena penempatan jauh dan insentif yang tidak memadai,” katanya.
Jika pemerintah tidak bisa melakukan perbaikan sistem CPNS sekarang, sambungnya, maka satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menaikkan gaji.
Dengan insentif yang memadai, penempatan di wilayah yang jauh dengan daerah asal bukan menjadi isu besar. Pasalnya insentif yang memadai akan memudahkan PNS untuk pulang ke daerah asal untuk mengunjungi keluarga.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan fenomena mundurnya 1.976 CPNS setelah dinyatakan lolos seleksi merupakan sinyal kuat yang menantang mitos lama bahwa menjadi PNS adalah jalan karier yang menjanjikan stabilitas dan kenyamanan jangka panjang.
“Data ini bukan hanya deretan angka, melainkan potret dinamis dari benturan antara ekspektasi generasi muda dengan realitas ekosistem kerja ASN di Indonesia,” katanya.
Achmad mengatakan generasi muda Indonesia tumbuh dalam ekosistem digital yang serba cepat, dengan berbagai peluang karier di sektor swasta, startup, hingga pekerjaan remote dengan kompensasi yang kompetitif.
Di tengah era fleksibilitas dan mobilitas saat ini, sistem birokrasi yang hierarkis dan rigid menjadi tantangan tersendiri.
“Ketika 1.976 CPNS mengundurkan diri, itu menunjukkan bahwa janji akan gaji tetap dan status sosial sebagai ASN tidak lagi cukup untuk mengimbangi realita keras penempatan geografis yang jauh dan biaya hidup yang tidak sebanding dengan gaji awal seorang CPNS,” katanya.
Ia mengatakan gaji awal CPNS biasanya berada pada kisaran Rp2,5 juta hingga Rp4 juta sering kali tidak mampu menutupi kebutuhan dasar ketika mereka ditempatkan di daerah-daerah terpencil dengan infrastruktur dan akses terbatas.
Bagi banyak dari mereka, biaya relokasi, keterbatasan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta minimnya konektivitas digital menjadi beban yang tidak ringan.
“Dalam banyak kasus, beban itu tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal kelayakan hidup dan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang masih menjadi persoalan akut di negeri ini,” katanya.
Achmad menyatakan fenomena banyak CPNS mengundurkan diri bisa menjadi alarm keras bahwa sistem birokrasi dan kebijakan kepegawaian negara perlu bertransformasi.
Kondisi ini juga mengkhawatirkan karena bisa menghambat distribusi ASN berkualitas ke daerah yang membutuhkan, memperlebar kesenjangan pelayanan publik antara pusat dan daerah, serta memperkuat kecenderungan urbanisasi ASN.
Karena itu, sambungnya, pemerintah tidak bisa tinggal diam menghadapi fenomena ini. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah evaluasi menyeluruh terhadap proses rekrutmen.
“Rekrutmen CPNS saat ini lebih menitikberatkan pada skor seleksi administratif dan tes, tanpa mempertimbangkan kesiapan psikologis dan sosial kandidat untuk bekerja di lokasi penempatan. Pendekatan berbasis nilai dan minat kerja berbasis daerah semestinya lebih dikedepankan,” katanya.
Kedua, pemerintah perlu meninjau ulang struktur gaji dan tunjangan ASN, terutama bagi mereka yang ditempatkan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Kompensasi tambahan berbasis wilayah, seperti tunjangan daerah terpencil, insentif kinerja, atau tunjangan keluarga yang memadai akan meningkatkan daya tarik posisi ASN
Ketiga, pemerintah perlu mengelola penempatan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis data.
“Alih-alih mendistribusikan ASN berdasarkan kebutuhan birokrasi semata, sistem penempatan bisa melibatkan pemetaan potensi daerah dan profil kompetensi ASN,” katanya.
(agt)