Segudang Bahaya Intai RI Jika Keran Impor Dibuka Jor-joran Tanpa Kuota

Presiden Prabowo Subianto berencana membuka keran impor selebar-lebarnya untuk berbagai komoditas.
Ia bahkan menginstruksikan kuota impor dihapus dan tidak ada persetujuan teknis (pertek) yang selama ini menghambat gerak importir.
“Saya minta, ada menteri pertanian, menteri perdagangan, gak usah ada kuota-kuota (impor) apalagi semua. Enggak ada kuota-kuota itu!” tegasnya dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (8/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kuota impor selama ini justru hanya menguntungkan perusahaan tertentu.
“Enak saja (khusus kuota untuk beberapa perusahaan)! Sudahlah, kita sudah lama jadi orang Indonesia. Jangan pakai-pakai praktik itu lagi!” katanya.
“Siapa mau impor daging, silakan! Siapa saja boleh impor. Mau impor apa? Silakan! Buka saja (keran impor). Rakyat kita pandai kok,” sambung Prabowo.
Lantas apa risiko jika Prabowo membuka keran impor selebar-lebarnya?
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan penghapusan kuota impor secara menyeluruh bukanlah kebijakan tanpa konsekuensi, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih berjuang membangun kemandirian industrinya.
Jika diterapkan tanpa strategi pendukung yang matang, langkah ini justru berisiko menggulung sektor produksi dalam negeri, memperdalam ketergantungan terhadap barang asing, serta menggagalkan agenda besar seperti swasembada pangan.
Syafruddin mengatakan penghapusan kuota impor secara tiba-tiba dan tanpa strategi pendukung yang matang akan membawa dampak serius bagi banyak kelompok, terutama petani, nelayan, pelaku UMKM, dan pekerja sektor riil.
“Industri kecil dan menengah yang belum siap bersaing akan terpukul, petani kehilangan pasar, dan lapangan kerja terancam hilang. Lebih dari itu, pembukaan impor tanpa kendali dapat memperlebar defisit transaksi berjalan dan melemahkan nilai tukar, sekaligus menciptakan keresahan sosial akibat naiknya angka pengangguran,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (9/4).
Di sisi lain, konsumen kelas menengah ke bawah mungkin akan menikmati harga murah dalam jangka pendek dengan dibukanya keran impor selebar-lebarnya. Namun akan menjadi malapetaka ketika harga impor melonjak akibat krisis global, tetap produksi lokal sudah terlanjur mati.
Oleh karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak menghapus kuota impor secara gegabah. Dalam merancang kebijakan perdagangan, sambungnya, pemerintah harus mampu membedakan mana produk yang layak dibuka impornya secara bebas dan mana yang perlu dilindungi secara ketat demi kepentingan nasional.
Menurutnya, produk-produk konsumsi non-strategis, teknologi tinggi yang belum tersedia di dalam negeri, serta bahan baku untuk industri ekspor dapat diimpor lebih leluasa karena mendukung efisiensi dan daya saing.
Namun, untuk komoditas pangan strategis seperti beras, kedelai, dan gula, serta produk UMKM dan industri padat karya yang menopang jutaan lapangan kerja, negara harus hadir melalui proteksi yang terukur.
“Kebijakan impor harus dirancang bukan atas dasar tekanan dagang atau logika harga murah semata, tetapi atas dasar strategi pembangunan jangka panjang yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat,” katanya.