BI Pede RI Tak Terancam Krisis Meski Rupiah Terendah Sejak 1998

Jakarta, CNN Indonesia —
Bank Indonesia (BI) menegaskan pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar AS tidak serta-merta menandakan Indonesia dalam kondisi krisis seperti yang terjadi pada 1998.
Adapun pada perdagangan Selasa (25/3) sore, nilai tukar rupiah terjerembab ke Rp16.611 per dolar AS.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) BI Solikin M Juhro menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan saat krisis moneter Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, berbagai mekanisme mitigasi juga telah diterapkan untuk antisipasi krisis.
Dia menekankan Indonesia telah banyak belajar dari pengalaman krisis masa lalu.
“Setelah krisis Asia, kita banyak belajar karena saat itu jelas pasti kenapa impact-nya besar, kurang mampu mendeteksi kerentanan. Kalau tidak tahu sakitnya berapa besar, dia merasa kuat saja. Makanya kita kuatkan desain kebijakan lebih prudent, semua kita kawal sehingga kita menunjukkan resiliensi saat krisis global,” ucap Solikin dalam Taklimat Media BI, Rabu (26/3).
Solikin juga menyoroti perbedaan mendasar antara kondisi saat ini dan krisis 1998.
“Dari sisi fundamental kita juga beda. Apakah ini konteks angka Rp16 ribu itu sama? Tidak. Dulu dari Rp2.800 langsung ke Rp16 ribu. Cadangan devisa kita juga masih berapa. Kita sudah punya mekanisme deteksi fundamental, mekanisme pencegahan, dan penanganan lebih baik dengan gejolak yang ada,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia memastikan BI akan terus memonitor pergerakan nilai tukar dan mencari solusi terbaik untuk menjaga stabilitas.
“Ini masih jauh? Iya. Tapi kita tetap monitor, harus dicarikan solusinya. Saham juga kita lihat rebound lagi. Yang jelas, BI akan terus mengawal dan menjaga, dan kemudian kebijakan itu dilihat dari pasar serta dikawal dengan berbagai mekanisme kebijakan pemerintah,” tambahnya.
BI juga menegaskan pelemahan rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh sentimen sementara, bukan faktor fundamental yang mengarah pada krisis besar.
“Kita harus melihat secara utuh, tidak hanya melihat angka Rp16.600. Bank sentral menjaga nilai tukar sesuai mekanisme pasar dan fundamentalnya. Kalau ekonomi kita bagus, maka nilai tukar tidak akan gonjang-ganjing. Kita pastikan menghilangkan volatilitas yang tidak perlu, menjaga stabilitas, dan memberikan kontribusi terhadap inflasi yang rendah,” paparnya.
Dalam konteks ini, ia menyebut BI mengambil langkah strategis dengan menambah likuiditas di pasar guna menjaga stabilitas ekonomi.
“Stance kita saat ini memang ingin menambah likuiditas. Karena dalam kondisi saat ini, desain dari kebijakan BI, misalnya melakukan intervensi menyerap rupiah, maka dalam konteks itu menambah likuiditas adalah suatu keniscayaan. Poinnya, BI akan menambah likuiditas karena menjaga likuiditas dalam perekonomian,” jelas Solikin.
(del/agt)