
Jakarta –
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM setuju dengan PT Timah yang menggugat pasal terkait ganti rugi di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor. Pukat UGM menilai gugatan itu layak dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya sangat setuju dengan permohonan tersebut. Menurut saya permohonan ini bagus dan sangat layak untuk dikabulkan,” kata peneliti Pukat UGM Zainur Rohman kepada wartawan, Kamis (13/5/2025).
Zainur mengungkap alasannya setuju dengan gugatan tersebut. Menurutnya, jika koruptor hanya mengganti uang sebesar hasil kejahatan yang diterima, maka kerugian keuangan negara tidak akan pulih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Misal orang menerima hasil kejahatan cuma berapa miliar tapi kerugiannya sekian triliun, nah itu kerugian kan tidak akan pulih. Sehingga kalau permohonan ini bisa dikabulkan, maka negara akan mendapatkan pemulihan dari kerugian akibat tindak pidana, yang tentu itu bisa jadi lebih besar dari harta hasil kejahatan yang dinikmati oleh para pelaku,” ucapnya.
Dia menyebut koruptor tidak boleh menikmati harta hasil kejahatannya. Koruptor, kata dia, juga harus bertanggungjawab memulihkan kerugian akibat dari perbuatannya.
“Sehingga memang kita lihat di Pasal 18 UU Tipikor itu uang pengganti sebesar-besarnya sama dengan hasil kejahatan yang dinikmati, yang diterima oleh para pelaku. Itu memang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena kerugian yang terjadi jauh lebih besar dari kejahatan yang mereka nikmati. Sehingga para pelaku juga mengganti seluruh kerugian yang timbul akibat perbuatan mereka,” ujar Zainur.
Sebelumnya, PT Timah meminta MK mengubah salah satu pasal di dalam UU Tipikor. Pasal itu berkaitan dengan perkara dugaan tindak korupsi yang melibatkan Harvey Moeis dkk.
UU Tipikor yang masih berlaku di Indonesia yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal yang digugat yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf b yang bunyinya:
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Dalam gugatan yang didaftarkan pada 3 Maret 2025, PT Timah diwakili sejumlah kuasa hukum. Mereka menilai pasal itu sudah tidak relevan sehingga meminta MK mengubah pasal itu menjadi:
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi.
Dalam permohonannya, PT Timah menyinggung perkara Harvey Moeis dkk terkait kasus timah. Perkara itu sejauh ini sudah menjerat Harvey Moeis dan 9 orang terdakwa yang putusannya sudah berada di tingkat banding. Dalam putusan itu disebutkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 300 triliun yang terdiri dari kerugian negara atas kerusakan lingkungan Rp 271 triliun dan sisanya kerugian negara terkait sejumlah hal seperti kerja sama penyewaan alat proses pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan dan sebagainya.
Putusan di tingkat banding itu pada intinya membebankan pembayaran uang pengganti pada Harvey Moeis dkk sebanyak Rp 25,4 triliun. Atas dasar itu, PT Timah melayangkan gugatan ke MK.
“Bahwa akibat penerapan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor tersebut menjadi tidak adanya keadilan dan kepastian hukum karena para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah illegal di wilayah IUP Pemohon I yaitu sebesar Rp 271.069.688.018.700,00,” ucap PT Timah dalam gugatannya ke MK.
Berikut isi petitumnya:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874), sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian negara berupa kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi” bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
(fas/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu
Source link