
Jakarta, CNN Indonesia —
Setoran pajak dua bulan pertama tahun ini jeblok. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut penerimaan pajak per Februari mencapai Rp187,8 triliun atau baru mencapai 8,6 persen dari target.
Capaian penerimaan pajak ini anjlok sebesar 30,19 persen secara year on year (yoy). Sebab, pada dua bulan awal 2024, penerimaan pajak Rp269,02 triliun.
Secara keseluruhan, APBN 2025 defisit 0,13 persen atau Rp31,2 triliun per 28 Februari 2025. Belanja negara sudah mencapai Rp348,1 triliun, sedangkan pendapatan baru di angka Rp316,9 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut ada beberapa penyebab penerimaan pajak anjlok. Pertama, harga komoditas utama turun, seperti batu bara yang anjlok 11,8 persen yoy, minyak 5,2 persen, dan nikel turun 5,9 persen.
Kedua, adalah masalah administrasi. Anggito mengatakan ada dua hal sumbernya, yakni di penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21 dan relaksasi PPN dalam negeri.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mencatat penerimaan pajak turun hingga 30,2 persen pada masa akumulatif hingga Februari 2025. Jika dibandingkan dengan Januari 2024, dia menyebut penerimaan pajak turun 40,4 persen secara year-on-year (yoy).
Huda berpendapat ada dua penyebab utama. Pertama, pengembalian lebih bayar pajak (restitusi) pada perpajakan masa 2024, yang dibayarkan pada Januari kemarin. Restitusi pajak tahun lalu mencapai Rp265,67 triliun atau tumbuh 18,8 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Penyebab kedua adalah kisruh sistem Coretax. Dia menilai sistem baru ini membuat pelaporan PPN menjadi terhambat.
“Pelaku usaha menahan transaksi karena gangguan Coretax terjadi selama masa pelaporan hingga Februari untuk transaksi Januari 2025,” kata Huda saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (13/3).
Huda menyoroti APBN 2025 yang sudah tekor 0,13 persen. Dia khawatir rasio defisit anggaran terhadap PDB mendekati, bahkan lebih dari angka 3 persen pada akhir tahun.
Belanja pemerintah menurun 7 persen (yoy). Belanja kementerian/lembaga yang merupakan belanja rutin mengalami penyusutan hingga 30,33 persen.
Sementara, belanja program, seperti Makan Bergizi Gratis dan lainnya, tumbuh hingga 6,91 persen. Huda menilai hal ini menunjukkan pemerintah mendorong belanja tanpa melihat kondisi penerimaan yang ada.
Ia juga mencatat utang tumbuh hingga 44,77 persen pada Januari 2025. Pada masa akumulasi hingga 28 Februari 2025, utang bertambah 19,42 persen atau sekitar Rp220 triliun.
“Jika kita bandingkan pada masa akumulasi Februari 2024, peningkatan utang hanya 1,16 persen saja. Jika kondisi seperti ini terus terjadi, kita patut khawatir terkait dengan pengelolaan utang ke depan,” ujarnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny Sasmita melihat penerimaan pajak anjlok 30 persen gara-gara kebijakan populis Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, ada sejumlah kebijakan Prabowo yang berupa relaksasi terhadap penarikan pajak. Misalnya, pemangkasan PPN demi diskon tiket pesawat mudik Lebaran 2025. Ada juga beberapa insentif di akhir tahun, seperti diskon properti dan insentif untuk kendaraan listrik. Berbagai kebijakan populis itu mengurangi penerimaan negara secara nyata.
“Kebijakan populis ini kan salah satu senjata politik sebenarnya, bukan senjata ekonomi, bukan senjata fiskal. Tapi imbasnya ke fiskal dan itu saya sepakat kebijakan populis menjadi salah satu penyebab,” kata Ronny.
Dia berkata anjloknya penurunan penerimaan pajak juga disebabkan kontraksi di beberapa sektor, terutama sektor manufaktur dan jasa. Hal itu membuat penerimaan negara pun menurun.
Ronny mengatakan kondisi ini terjadi karena perubahan kebijakan fiskal saat pergantian pemerintahan. Dia berharap kebijakan-kebijakan yang dibuat Prabowo bisa memicu gairah di berbagai sektor dalam waktu dekat.
Dia juga melihat potensi perbaikan kondisi karena perang dagang Amerika Serikat dengan China. Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini karena harga komoditas akan tetap tinggi beberapa waktu mendatang.
“Ini sumber pemasukan juga buat ekspor Indonesia, terutama ekspor komoditas utama kita seperti batu bara, CPO, gas, dan lain-lain. Jadi, potensi penerimaan negara juga cukup tinggi,” ujarnya.
(pta)