Nelayan Wajib Pasang Alat Monitor Kapal VMS Mulai 2026

Jakarta, CNN Indonesia —
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mewajibkan seluruh kapal perikanan yang memiliki izin dari pemerintah pusat wajib memasang alat monitor kapal berbasis satelit bernama Vessel Monitoring System (VMS) mulai Desember 2025.
Kebijakan ini diputuskan pemerintah sebagai langkah penguatan pengawasan laut dan peningkatan keselamatan kapal di wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian, pada 2026 mendatang, tak ada lagi toleransi bagi kapal berizin pusat yang belum memasang VMS.
“Relaksasi kita sampai Desember 2025,” tegas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono dalam diskusi media di KKP, Jakarta Pusat, Rabu (16/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan wajib VMS ini berlaku hanya untuk kapal yang beroperasi di atas 12 mil laut dan berizin pusat. Sementara kapal nelayan kecil, khususnya di bawah 5 gross ton (GT), tidak diwajibkan memasang perangkat ini. Pung menegaskan pengecualian ini agar nelayan kecil tidak terbebani secara finansial.
“Kewajiban dan pengaktifan transmitter SPKP (Sistem Pemantauan Kapal Perikanan) dikecualikan bagi nelayan kecil, ini yang perlu digarisbawahi. Karena di lapangan digoreng, ‘wah nelayan kecil harus pakai’. Kami mengecualikan, nelayan kecil tidak wajib dalam hal ini,” kata Pung.
Sebelumnya, kewajiban VMS sempat diberi masa relaksasi. Pada 2023, aturan ini dimundurkan ke 2024 atas permintaan pelaku usaha. Namun kini, KKP telah menegaskan batas waktu final adalah Desember 2025 dan tidak akan ada kelonggaran tambahan.
“Kita beri waktu, dari tahun 2023 kita beri pemahaman kita harus lakukan relaksasi, mundur (jadi) 2024. Belum paham (juga). Kita mundurkan lagi sampai 2025. Nah, kemarin di triwulan III kami lakukan evaluasi,” ujar Pung.
Menurut data KKP, dari 13.313 kapal perikanan yang memiliki izin pusat, saat ini baru 8.893 kapal yang telah memasang VMS.
Artinya, masih ada sekitar 4.425 kapal yang belum patuh terhadap kewajiban ini. Sebagian besar berasal dari kapal-kapal eks izin daerah yang kini bermigrasi ke izin pusat karena beroperasi di atas 12 mil.
Pung menyebut pihaknya tak tinggal diam. Untuk mendukung nelayan, terutama kapal besar, pemerintah telah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang jumlahnya jauh lebih besar daripada biaya pemasangan VMS.
Adapun satu kapal bisa mendapat subsidi Rp20 juta sekali trip, sedangkan harga VMS hanya sekitar Rp5 juta-Rp10 juta per tahun, termasuk airtime.
“Setiap berangkat Rp20 juta (subsidi), sekali berangkat per kapal. Per kapal dapat subsidi BBM. Satu trip itu dia bisa satu bulan, bisa cuma 10 hari, bisa ada yang one day fishing, setiap hari,” ujarnya.
Ia menjelaskan jika pelaku usaha mulai menyisihkan Rp500 ribu per bulan sejak awal relaksasi, mereka seharusnya sudah mampu membeli alat VMS.
“Bayangkan, seandainya dia tabung aja sebulan Rp500 ribu dari zaman dulu, kebeli sudah (VMS). Ini kan cuma karena tidak mau saja. Tidak mau terawasi,” tegasnya.
Sementara itu, KKP mendorong pemasangan VMS bukan hanya untuk pengawasan perikanan, tapi juga untuk menjaga keselamatan awak kapal.
Pung menjelaskan VMS memungkinkan otoritas melacak posisi kapal saat terjadi kecelakaan atau pembajakan. Bahkan, sistem ini pernah digunakan untuk menolong kapal yang dibajak dan seluruh awak buah kapal (ABK)-nya terbunuh.
“Dengan VMS kita dapat mengetahui posisi kapal sehingga dapat membantu sebuah kapal ketika mengalami trouble dengan cara mengarahkan kapal perikanan terdekat atau kapal pengawas kami,” tuturnya.
“Saya pernah ditelepon, ‘kapal kami hilang dibajak, Pak’. Ternyata dia lupa mematikan VMS-nya. Nah, saat kami temukan dibunuh lah orang-orang ini 27 orang ABK oleh pembajak tersebut. Pembajak itu ABK dia sendiri, tiga orang pembajaknya. Tapi 27 orang mati. Ada yang kepala putus, ada yang perutnya terburai,” cerita Pung.
Lebih dari itu, Pung mengatakan VMS menjadi alat penting dalam diplomasi maritim. Ketika negara tetangga menuduh kapal Indonesia masuk wilayah mereka, data dari VMS dapat menjadi alat bukti resmi bahwa kapal berada di perairan Indonesia.
Pung menegaskan 2026 akan menjadi titik balik penerapan pengawasan laut berbasis teknologi.
Dengan teknologi ini, pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh kapal berizin pusat bisa dipantau secara real-time. Tidak hanya untuk menjaga kelestarian laut, tapi juga memastikan tak ada praktik penangkapan ikan ilegal di wilayah tangkap yang salah.
“Tapi kalau melihat manfaatnya, saya yakin orang (berpikir), ‘oh iya, kalau kapal kami di laut terjadi kecelakaan, kapal kami di laut terjadi kendala, cepat menghubungi KKP dan KKP bisa lacak secepatnya’. Pemilik kapal dapat memberitahukan ke nahkoda agar terhindar dari pelanggaran, jika ada notifikasi,” ujar dia.
(del/pta)