Akuisisi Yupi Rp18 T Dipertanyakan, Valuasi Dinilai Terlalu Tinggi

Jakarta, CNN Indonesia —
Akuisisi 90 persen saham PT Yupi Indo Jelly Gum Tbk (YUPI) oleh PT Confectionery Consumer Products Indonesia (CCPI) melalui transaksi negosiasi jumbo senilai Rp18,37 triliun menimbulkan pertanyaan mengenai kewajaran harga dan valuasi perusahaan.
Harga transaksi ini dinilai jauh lebih tinggi dibandingkan harga pasar YUPI, yang sempat turun 7,11 persen ke Rp2.220 per lembar pasca melakukan penawaran umum perdana saham (initial public offering/ IPO).
Pengamat pasar modal Hendra Wardana menyebut valuasi yang diterapkan dalam transaksi ini berpotensi melebihi harga wajar, terutama jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis di industri makanan ringan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Secara fundamental, YUPI memiliki kinerja yang solid sebagai pemimpin pasar permen jelly di Indonesia dan Asia Tenggara. Namun, dengan harga IPO Rp2.390 per saham dan perolehan dana Rp2,04 triliun dari pelepasan 10 persen saham, nilai akuisisi Rp18,37 triliun untuk 90 persen saham menimbulkan indikasi harga transaksi jauh di atas harga pasar yang wajar,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/3).
Hendra menambahkan meskipun fundamental YUPI kuat dengan pertumbuhan pendapatan rata-rata 16,3 persen per tahun sejak 2021 serta kenaikan laba bersih rata-rata 19,6 persen per tahun, valuasi ini tetap perlu dikaji lebih dalam.
“Dengan laba September 2024 sebesar Rp484 miliar dan rasio pertumbuhan yang stabil, valuasi ini perlu dianalisis lebih lanjut menggunakan rasio Price to Earnings (P/E) dan Price to Sales (P/S) untuk memastikan tidak ada unsur overvaluation atau spekulasi berlebihan,” jelasnya.
Dari sisi transaksi, PT CCPI membeli saham YUPI dengan harga Rp2.390 per saham, sesuai dengan harga IPO.
Head of Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menyatakan tidak ada premi besar dalam transaksi ini.
“Transaksi tersebut mengindikasikan perubahan pemegang saham pengendali ke CCPI sebesar 90 persen. Jika melihat harga transaksi yang sesuai dengan IPO dan perubahan struktur, terlebih CCPI bergerak di bidang investasi dan holding, maka aksi ini menjadi bentuk diversifikasi aset, khususnya sektor konsumer,” ujar Oktavianus.
Namun, ia juga mencatat dibandingkan dengan harga pasar YUPI pada sesi perdagangan 27 Maret 2025 pukul 14.40 WIB, harga transaksi tersebut berada di atas harga pasar.
Hal ini semakin menambah pertanyaan tentang apakah valuasi yang diterapkan CCPI dalam akuisisi ini telah mempertimbangkan pergerakan saham YUPI di pasar sekunder.
Dari perspektif makroekonomi, Hendra menilai masuknya private equity besar seperti CCPI ke pasar modal Indonesia membawa dampak positif terhadap iklim investasi dan kepercayaan investor asing.
Selain itu, lanjutnya, strategi ekspansi YUPI, termasuk pembangunan pabrik baru di Nganjuk, Jawa Timur, serta penguatan distribusi global, dinilai memberikan potensi pertumbuhan jangka panjang bagi perusahaan.
Namun, keberlanjutan performa saham di pasar sekunder tetap menjadi perhatian.
Menurut Hendra, dengan kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang masih berfluktuasi akibat faktor eksternal, likuiditas saham YUPI dan respons investor institusi terhadap valuasi yang tinggi akan menjadi faktor penentu pergerakan harga saham ke depan.
“Meskipun fundamentalnya kuat dan prospek ekspansi YUPI ke pasar internasional dinilai positif, ada risiko harga transaksi yang terlalu tinggi, terutama jika dibandingkan dengan valuasi perusahaan sejenis dalam industri makanan ringan,” ujarnya.
(del/sfr)