Ekonomi

Tarif Trump Sasar Produk Farmasi, Dikhawatirkan Perparah Krisis Obat



Jakarta, CNN Indonesia

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengusulkan kebijakan tarif impor baru, kali ini menargetkan produk farmasi yang masuk ke Negeri Paman Sam.

Sejumlah pakar kebijakan kesehatan memperingatkan langkah ini bisa memperburuk masalah lama yang dihadapi sistem kesehatan AS, yaitu mahalnya harga obat dan krisis kelangkaan pasokan.

Trump beralasan tarif tersebut akan mendorong perusahaan farmasi untuk memindahkan operasional manufaktur mereka ke dalam negeri.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun para analis menilai kebijakan ini justru berpotensi mengganggu rantai pasok global yang kompleks dalam industri farmasi, sekaligus mendorong lonjakan biaya produksi yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.



“Kita sudah berada dalam kondisi di mana banyak orang Amerika tidak mampu membeli obat resep mereka,” ujar Mariana Socal, profesor kebijakan kesehatan di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health kepada CNBC Internastional.

“Jika tarif diterapkan dan memperburuk biaya distribusi atau produksi, maka pasien akan semakin kesulitan mengakses obat,” imbuhnya.

Menurut laporan dari Brookings Institution, obat-obatan generik, yang menyumbang sekitar 90 persen resep di AS, akan menjadi kelompok paling terdampak.

Obat generik umumnya memiliki margin keuntungan kecil dan sangat bergantung pada bahan baku dari luar negeri, terutama dari China dan India. Tarif baru bisa membuat sejumlah produsen obat generik menarik diri dari pasar AS, memicu kelangkaan yang lebih parah.

Data American Society of Health-System Pharmacists mencatat saat ini ada sekitar 270 jenis obat yang mengalami kelangkaan aktif di AS.

Obat injeksi steril generik, seperti kemoterapi, saline IV, dan anestesi lokal seperti lidokain, menjadi jenis yang paling rentan karena proses produksinya yang rumit dan kontrak distribusi yang ketat, membuat produsen sulit menaikkan harga sebagai respons atas tarif.

Marta Wosinska, peneliti senior di Brookings, menyebut jika produsen tidak bisa mengalihkan biaya tambahan ke konsumen, mereka mungkin memilih untuk memotong biaya produksi, yang bisa berdampak pada kualitas dan keamanan obat, atau bahkan menghentikan sementara produksi.

Sementara itu, obat bermerek yang dipatenkan cenderung lebih tahan terhadap dampak tarif karena memiliki margin keuntungan tinggi dan tidak menghadapi persaingan langsung.

Namun, karena produk ini monopolistik, kenaikan harga akibat tarif bisa langsung berdampak pada kantong pasien, terutama mereka yang memiliki skema asuransi dengan sistem potongan biaya (coinsurance) atau deductible tinggi.

EY Americas Life Sciences Leader Arda Ural mencatat sekitar 50 persen obat bermerek sudah diproduksi di AS, dan sekitar 35 persen diimpor dari Eropa.

Kendati demikian, harga obat bermerek yang sudah mahal berisiko meningkat lebih tinggi lagi jika terkena tarif, memperburuk kesenjangan biaya antara AS dan negara maju lainnya. Data RAND 2024 menyebut, warga AS membayar harga obat sekitar 2-3 kali lipat lebih tinggi dibanding negara-negara maju lain.

Dari sisi industri, beberapa perusahaan besar seperti Eli Lilly, Bristol Myers Squibb, dan AbbVie diprediksi lebih siap menghadapi tarif karena memiliki fasilitas produksi besar di AS.

Sebaliknya, perusahaan seperti Novartis dan Roche yang lebih banyak bergantung pada pabrik di luar negeri dinilai lebih rentan.

Meski Trump menyatakan tarif akan menciptakan lapangan kerja dan mendorong produksi lokal, para analis Wall Street meragukan kemampuannya untuk merealisasikan hal tersebut dalam waktu dekat. Evan Seigerman dari BMO Capital Markets menyebut industri farmasi memiliki rantai pasok yang sangat kompleks, dan relokasi manufaktur bukanlah perkara mudah.

Beberapa perusahaan seperti Eli Lilly dan Johnson & Johnson memang telah mengumumkan investasi besar untuk memperluas fasilitas manufaktur di dalam negeri.

Namun CEO Eli Lilly Dave Ricks memperingatkan jika tarif memaksa perusahaan menyerap biaya tambahan, maka yang pertama akan dikorbankan kemungkinan besar adalah anggaran riset dan pengembangan (R&D).

“Itu adalah hasil yang sangat mengecewakan,” ujarnya.

Di tengah upaya bipartisan untuk menurunkan harga obat, para analis memperingatkan tarif farmasi justru bisa menimbulkan dampak sebaliknya.

Selain membebani pasien, tarif ini juga bisa memicu tekanan politik lanjutan terhadap perusahaan farmasi, bahkan membuka kembali wacana mengikat harga obat di AS dengan harga di negara-negara maju lainnya, sebuah kebijakan yang pernah diusulkan Trump pada masa jabatan sebelumnya.

[Gambas:Video CNN]

(del/pta)





Source link

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button