
Jakarta, CNN Indonesia —
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi bagi emiten untuk melakukan buyback saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas pasar di tengah tekanan yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hampir 7 persen. Namun, di balik fleksibilitas tersebut, terdapat pro dan kontra terkait siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari kebijakan ini.
Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menjelaskan keputusan OJK ini diambil untuk mengatasi momentum buyback yang sering kali tertunda jika harus menunggu persetujuan RUPS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kebijakan ini, menurutnya, perusahaan dapat segera membeli kembali sahamnya ketika harga turun, tanpa kehilangan momen yang tepat untuk mendukung stabilitas harga saham di pasar.
“Jika menunggu RUPS, kemungkinan buyback akan lebih lama, sehingga momentumnya tidak tepat. Dengan adanya kebijakan ini, perusahaan-perusahaan terbuka (Tbk) bisa langsung melakukan buyback untuk menahan kejatuhan harga saham,” ujar Ibrahim kepada CNNIndonesia.com, Rabu (19/3).
Menurutnya, buyback saham tanpa RUPS menguntungkan perusahaan karena bisa membeli sahamnya dengan harga lebih murah, sehingga meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang.
Namun, di sisi lain, investor ritel bisa dirugikan karena harga saham yang mereka miliki cenderung rendah saat buyback terjadi.
“Yang diuntungkan adalah perusahaan, terutama manajemennya, karena bisa membeli kembali sahamnya di harga lebih murah. Sementara yang dirugikan adalah investor, karena harga sahamnya lebih rendah ketika buyback dilakukan,” tambahnya.
Kendati demikian, Ibrahim menekankan transparansi dalam pelaksanaan buyback tetap menjadi aspek penting. Dengan adanya aksi ini, permintaan saham di pasar meningkat, yang berpotensi mendongkrak harga saham kembali stabil.
Sementara itu, pengamat pasar modal Hendra Wardana melihat kebijakan ini sebagai langkah positif yang dapat membantu pemulihan IHSG. Menurutnya, buyback saham sering kali dipandang sebagai sinyal bahwa emiten menilai sahamnya undervalued dan memiliki fundamental bisnis yang kuat.
“IHSG mulai menunjukkan tanda-tanda rebound seiring dengan kebijakan ini. Buyback saham memberikan fleksibilitas bagi perusahaan untuk segera merespons tekanan pasar, yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan investor,” ujar Hendra.
Lebih lanjut, ia menjelaskan buyback dapat meredam tekanan jual, mengurangi volatilitas pasar, dan berpotensi meningkatkan harga saham karena jumlah saham yang beredar di pasar menjadi lebih sedikit.
Namun, faktor lain seperti keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan pada hari ini juga akan mempengaruhi arah pasar.
“Jika BI mempertahankan suku bunga, pasar kemungkinan akan stabil. Tetapi jika BI menurunkan suku bunga, dampaknya bisa lebih positif bagi IHSG, terutama bagi sektor properti dan perbankan yang sensitif terhadap kebijakan moneter,” jelasnya.
Sebelumnya, OJK mengeluarkan kebijakan buyback saham tanpa RUPS sebagai respons terhadap volatilitas pasar saham yang tinggi. Sejak 19 September 2024, IHSG mengalami tekanan signifikan, dengan penurunan sebesar 1.682 poin atau 21,28 persen hingga 18 Maret 2025.
Melihat kondisi ini, OJK menetapkan pasar dalam status “berfluktuasi secara signifikan” sesuai dengan Pasal 2 huruf g Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 Tahun 2023. Kebijakan ini diumumkan secara resmi kepada direksi perusahaan terbuka melalui surat OJK pada 18 Maret 2025 dan akan berlaku selama enam bulan.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi tekanan pasar. Buyback tanpa RUPS diharapkan memberi fleksibilitas bagi emiten dalam menstabilkan harga saham saat volatilitas tinggi.
Sebelumnya, kebijakan serupa juga pernah diterapkan oleh OJK di sektor pasar modal dan terbukti efektif dalam menjaga stabilitas harga saham di tengah ketidakpastian pasar.
(del/agt)